KARYA ARTISTIK
Kami telah mengundang seniman dari seluruh dunia untuk menghasilkan tanggapan yang kreatif terhadap temuan dari proyek penelitian ini.
Berikut bentuk tanggapan tersebut:
- Puisi, sajak, poetry film
- Lagu dan musik
- Film pendek
- Seni digital, interaksi digital
- Menggambar, melukis, karya seni, dan mura
- Teks dan cetakan
Seluruh koleksi dapat diakses melalui halaman ini.
Koleksi berbahasa Indonesia dapat diakses di bawah ini.
Beberapa koleksi juga tersedia dalam bahasa Spanyol, Arab dan Kiswahili.
Film: Greater Than Love
Greater Than Love (04:36 menit) adalah sebuah film pendek dengan media campuran karya Alejandra Jimenez. Film ini terinspirasi oleh kata-kata seorang perempuan pembela hak asasi manusia dari Meksiko yang bekerja pada isu hak perempuan dan penghilangan paksa, disusun ke dalam dua puisi verbatim oleh Juliana Mensah, The Phone dan Greater than Love.
Film: Dust on Paper
Dust on Paper (04:00 menit) adalah sebuah film karya Emilie Flower yang dibuat berdasarkan kata-kata seorang perempuan pembela hak asasi manusia LGBT dari Kolombia, yang disusun ke dalam puisi verbatim oleh Juliana Mensah. Film ini merupakan ekspresi magi-real dari pengalaman hidup di bawah penindasan.
(Klik di sini untuk melihat versi subtitle Bahasa Spanyol)
Dalam film Making Human Rights Defenders (06:40 menit) karya Emilie Flower, pembela hak asasi manusia sekaligus pengacara Johana Rocha Gómez merefleksikan ekspektasi orang terhadap 'pembela hak asasi manusia'.
Dalam film The Sound of Defending Human Rights (08:25 menit), Emilie Flower merefleksikan pengalaman emosionalnya ketika membuat sebuah film tentang pembela hak asasi manusia yang menghadapi resiko melalui sebuah sketsa improvisasi bersama pemain cello Gaia Blandina.
Poetry Films
Poetry Films: ‘Affective Necessities' (Kebutuhan Afektif) and ‘To Die for My Work’ (Berkorban Jiwa Untuk Pekerjaan)
Roberta Letizia, Kenther Ramos, Xinyi Chen, Michael Rolph, Martha Chaparanganda dan Tsun Fai Jason So.
Poetry Film ini dibuat berdasarkan sajak karya Juliana Mensah yang berasal dari transkrip wawancara pada proyek' Navigating Risk, Managing Security and Receiving Support' (Menyusun Resiko, Mengelola Keamanan dan Menerima Dukungan)
Text: Affective Necessities
Text: To Die for My Work
Songs of Equality/ Lagu Kesetaraan/ Lagu dan Musik
Ditulis dalam bahasa Luo dan Kiswahii, dan menggunakan perumpamaan dan pepatah (ngero/ngeche dalam Luo), nyanyian-nyanyian ini merefleksikan dan merayakan perjalanan para pembela.
Lirik dalam bahasa Luo (dengan terjemahan bahasa Inggris dan bahasa Kiswahili)
Komposisi dan aransemen oleh John Otieno Oduor Rapasa
Rapasa Otieno: Penyanyi, Nyatiti, Ongeng'o dan Gara
Prasad Velankar: Tabla dan Dholak
Andrew Ngatia: Bass
Kirit Prattin: Bansuri
Fezile Mauncho dan Daniel Osanyo: Penyanyi Latar
Foto: Martin 'Drix' Muyeshi
Penata Artistik: Steve '64' Kivutia
Humas: Loi Awat
Mural: Uprising
Uprising karya Steve Kyenze dan para seniman muda Nyota Art Gallery, 2017, Kibera, Kenya.
Mural ini berfokus pada kebangkitan melawan rasa tidak aman – bagaimana orang biasa secara damai bangkit merespon kebrutalan terhadap kemanusiaan.
Mural ini terinspirasi oleh Safe Insecure sebuah puisi verbatim yang ditulis oleh Juliana Mensah dari transkrip wawancara dengan seorang perempuan Kenya pembela hak asasi manusia yang bekerja pada isu pembunuhan di luar hukum serta kekerasan berbasis gender.
Selimut untuk Pembela Hak Asasi Manusia
"Cobija adalah selimut, dan cobijar artinya memberi tempat berlindung, menawarkan perlindungan, melindungi seseorang. Kata ini adalah kata kerja, sebuah aksi. Itulah alasan saya membuat selimut dari sisa bahan: membuat selimut memiliki makna yang sangat simbolis bagi saya. Dan itu juga sebabnya saya memutuskan membuat sebuah selimut sebagai respon terhadap proyek Navigating Risk, Managing Security, and Receiving Support di Universitas York. Selimut ini punya dua makna: pembela hak asasi manusia melindungi kita, tapi kita juga perlu melindungi, memayungi dan merawat mereka. Kita perlu menunjukkan pekerjaan mereka serta resiko yang mereka hadapi dan cara menanganinya."
Rosa Borrás
Dalam essay ini, Rosa menceritakan mengapa ia membuat selimut untuk pembela hak asasi manusia dan arti di balik bahan, pola dan bordirnya.
Tinta di atas Perspex: Divine
'Divine'
menampilkan Padre Alejandro Solalinde
oleh Ruben Ochoa, 2017
Tinta di atas Perspex (kotak)
60 x 120 cm.
Didasarkan pada puisi verbatim Divine karya Juliana Mensah.
Pada tulisan ini, Ruben menjelaskan makna dalam 'Divine'.
Sketsa: Backstabbed
Kilio cha haki,
Kilio cha mnyong’e
Machozi ya jamii,
Machozi ya wajane,
Machozi ya watoto,
Kilio kasikika
Haki twalia,
Siku njema – itakuja lini?
Teriakan keadilan,
Teriakan si lemah,
Air mata komunitas,
Air mata para janda,
Air mata anak-anak,
Teriakan terdengar,
Kami berteriak untuk keadilan,
Menanti fajar baru.
Nancy Muigei
Kenya, 2017
'Backstabbed' menceritakan kisah seorang perempuan pembela hak asasi manusia yang anak lelakinya dibunuh untuk memaksanya berhenti memperjuangkan keadilan.
oleh Ndereva Mutua, 2017
Pensil grafit di atas kertas ivory
Lukisan: The Witness
'The Witness' menggambarkan seorang pembela hak asasi manusia yang menyaksikan rekannya dibunuh selagi ia menanti kematiannya sendiri.
oleh Ndereva Mutua, 2017
Minyak di atas kanvas
Puisi
Penyair Nancy Muigei, berbasis di Nairobi, merespon temuan riset dalam proyek ini dengan puisi-puisi bertema Kesejahteraan dan Resiko, Identitas dan Keamanan, dan Persepsi Pembela Hak Asasi Manusia. Puisi-puisi tersebut bisa dilihat di sini.
Film Tarian: Vis-à-vis
Dalam film Vis-à-vis (08:44 menit), pembuat video Simona Manni dan penari Christie Barnes menangkap refleksi pembela hak asasi manusia beresiko yang ditampilkan dalam proyek ini terutama topik kesejahteraan pribadi.
Karya Seni Digital: We Are Fragmented
Karya Seni Digital: We Are Fragmented
Pada Karya senin digital interaktif ini, Amira Hanafi menerjemahkan cakupan dan kedalaman emosi yang diungkapkan oleh para pembela hak asasi manusia beresiko dalam proyek ini menjadi pola-pola visual, dengan mengelompokkan emosi yang terungkap.
Klik gambar untuk memulai.
Komposisi Musikal: The Sound of Us
Pada karya The Sound of Us (05:48 menit), Way Dwi Arifianto merefleksikan makna dan pentingnya toleransi di Indonesia.
Way mendapat inspirasi dari kejadian-kejadian terbaru serta dari temuan riset dalam proyek ini, termasuk puisi verbatim A Temporary Place of Worship karya Juliana Mensah yang didasarkan pada kata-kata seorang pembela hak asasi manusia dari Indonesia yang bekerja dalam isu kebebasan beragama.
Pada komposisi ini, Way berupaya mengangkat dan menggambarkan situasi dan ketegangan melalui melodi dan atmosfer suasana. Ketika membalik note dan chord utama di bagian satu dan bagian tiga dari karya ini, ia berusaha menggambarkan bahwa kita selalu bisa 'membalik' sebuah situasi.
Pada catatan ini, Way menjelaskan proses kreatifnya.
Faktor apa yang membuat anda merasa aman/tidak aman?
Dalam studi kami, kami bertanya kepada para pembela hak asasi manusia, 'Faktor apa yang membuat anda merasa tidak aman?' dan 'Faktor apa yang membuat anda merasa aman?'
Deena Mohamed menggambarkan beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut dari pembela HAM beresiko di Mesir.
Anda bisa melihat melalui tautan berikut: Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
Anda juga bisa mengunduh PDF di sini:
Film: Room at Region (X)
Room At Region (X) (12:05 menit) adalah sebuah film fiksi eksperimental karya Nada Hassan. Terinspirasi oleh puisi-puisi verbatim karya Juliana Mensah (Affective Necessities, Irruptions, dan Safe Insecure), film ini berfokus pada tiga tema utama: penghilangan paksa, keterasingan dan kelelahan. Pada film ini, kita berada di dalam pikiran seorang perempuan pembela hak asasi manusia. Di tengah luapan emosi, dengan kemarahan ironis yang tak kentara dan melalui monolog verbal direksional, ia mengungkapkan kelelahan berlebihan yang dirasakannya. Ia menemukan kembali makna paradoks dari rasa takut dan keberanian, rasa aman dan rasa tidak aman, cinta dan keterasingan.
jurisdictionProyek Digital Berbasis Web: Indigenous jurisdiction
Juan Franco adalah seorang artis visual dari Kolombia. Ia memproduksi karya digital ini berdasarkan pengalaman dan transkrip pembela hak asasi manusia yang bekerja pada isu hak pribumi di Kolombia. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata Margarita Hílamo Mestizo dan Lucy Chamarro.
Karya lain Juan Franco bisa dilihat di sini
Puisi Verbatim
Puisi Verbatim
Banyak seniman dalam proyek ini mendapat inspirasi dari puisi-puisi verbatim karya Juliana Mensah yang didasarkan pada transkrip dan catatan wawancara dengan para pembela hak asasi manusia beresiko dalam proyek ini.
Kumpulan lengkap puisi ada di sini:
Colombia
Dust on Paper
The Co-optation of the Word
The Indigenous Jurisdiction
Mexico
Affective Necessities
Greater than Love
Irruptions
The Phone
To Die for My Work
WHRD
Kenya
Egypt
Indonesia
Multiple Countries